Senin, 10 November 2014

Televisi

Kalau hari ini kita berbicara tentang tayangan televisi, mungkin sudah terlalu banyak kritik tentangnya. Tapi toh hingga hari ini kita masih disuguhi dengan hal yang sama, atau bahkan bisa jadi lebih buruk. Televisi bukanlah sekedar ‘kotak ajaib’ yang menayangkan sinyal elektrik hingga membentuk rangkaian visual serta imaji. Secara fisik, Tv pun telah mengalami revolusi yang sedemikian rupa. Dari tabung elektronik hingga menjadi sesuatu yang bisa kita bilang total virtual.
Sedemikian pentingnyakah kita memiliki TV digital dengan layar datar LCD, LED, LSD, atau apapun itu? Sedemikian pentingnyakah kita menyaksikan tayangan televisi hingga benar-benar ‘mendekati aslinya’? mungkin tidak, tapi yang penting kita punya. Itu dulu saja.
Televisi, yang saat ini bisa kita saksikan dimana saja dan kapan saja itu sesungguhnya telah mencengkram keseharian kita sedemikian rupa. Kita akan menjadi sangat tertinggal bila sedikit saja luput darinya. Coba bayangkan, betapa anehnya bila sebuah keluarga tidak memiliki pesawat televisi?  Atau bila hanya memiliki satu belaka?
Bila kita bicara soal program tayangannya, maka kita akan berhadapan dengan ‘realitas’ baru diluar apa yang kita lihat di dunia yang lebih nyata. Kita tahu bahwa televisi memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah citraan. Mengutip sebuah dialog dalam film Man of the Year yang diperankan oleh Robin William, salah satu tokohnya mengatakan; “I have this hate-love relationship with TV. On TV everything seems credible, while they’re not. The more you seem credible on TV, and then more incredible it is. So, if you want to be credible, you have to be on TV”.
Dan dunia kita adalah dunia televisi. Hidup kita adalah apa yang tiap hari diproyeksikan olehnya. Yang membosankan adalah; tiap kali kita mengkritiknya, mereka selalu memiliki jawaban yang sama. Kita, para pengkritik, akan selalu dituduhkan sebagai ‘para idealis yang tidak mengerti kebutuhan masyarakat’. Mereka selalu meyakini bahwa masyarakat butuh hiburan, setelah segala tekanan yang mereka hadapi seharian di tempat kerja.
Masyarakat sangat butuh informasi. Segala macam informasi. Penting atau tidaknya bukan soal. Namun, apapun yang ditayangkan oleh TV seolah-olah menjadi sesuatu yang amat penting. Seberapa pentingnya bagi kita untuk tahu siapa yang paling kuat antara Barrack Obama dengan John Mc Cain? Apakah sama pentingnya untuk tahu bahwa si artis ini-itu akan menjadi calon legislatif negeri ini?
Kita menelannya bulat-bulat. Kita menjadikannya seolah-olah hal tersebut adalah benar bagian penting dalam hidup kita. Kita harus tahu apa yang dilakukan oleh seorang selebritis ketika wajahnya berjerawat. Atau ternyata seorang superstar pun mau makan di warung tegal. Itu penting.
Sedikit banyak menantang tingkat kecerdasan kita. Seberapa bodohnyakah kita untuk terus menerus menalan apa yang yang ia sajikan? Atau menjadikan sebuah gossip perselingkuhan selebritis sebagai diskusi riuh yang maha penting?
Menuntut tanggung jawab moral terhadap institusi TV adalah hal yang mustahil. Mereka sedmikian tidak tersentuhnya hingga mungkin hanya tuhan yang bisa menghentikan mereka. Toh memiliki ide untuk merubuhkan tiang pemancar semua stasiun TV hanya akan menjadi komoditas menarik buat mereka sajikan.
Ya, kita dan kehidupan kita sampai yang terkecil adalah komoditas yang sangat menguntungkan. Mari kita lihat sejenak segala macam benda yang kita konsumsi saat ini, yang ada di rumah kita saat ini? Darimanakah kita mendapatkan informasi mengenainya? Atau, mengapa kita merasa harus menggunakan deterjen dan pasta gigi tertentu?
Penguasa juga masih menggunakan televisi sebagai media propaganda politik kekuasaan mereka. Mereka sangat sadar, bahwa televisi masih memegang peran utama dalam hal tersebut. Dulu saya pikir setelah Soeharto turun, akan ada sedikit perubahan dalam bentuk propaganda politik penguasa. Jelas saya salah besar. Beberapa waktu lampau, kita menyaksikan tayangan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional di stadion Gelora Bung Karno, dengan tampilan persis dengan apa pemerintah Soeharto pernah lakukan. Ribuan siswa dikerahkan untuk bernyanyi dan membentuk formasi wajah presiden.
Saat ini pun kita akan semakin sering menyaksikan iklan layanan masyarakat (oya?) dimana seorang menteri bersabda dengan gemuruhnya untuk membangkitkan semangat kaum muda dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda. Banal. Tolol.
Namun apa yang bisa kita lakukan untuk menghindarinya? Ini mungkin hal yang sulit untuk dilakukan. Adakah ruang bagi kita untuk bisa beraktivitas tanpa harus mengkonsumsi ketika ruang publik menjadi sesuatu yang teramat mahal di negri ini? Apakah ada kesempatan bagi kita untuk bisa tenang berkreasi, berdialog, beraktivitas seni, tanpa harus takut atau direpotkan dengan segala aturan pemerintah yang sedemikian paranoidnya? Jawabannya jelas tidak.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa Indonesia menjadi bangsa yang paling buruk budaya membacanya diantara negara asia tenggara. Tentu itu bukan hal yang mengejutkan sama sekali. Dan tampaknya kita tidak perlu malu dengan hal itu. Malu bukanlah hal yang lazim di negeri elok ini.
Bagi para orangtua, TV mungkin satu-satunya pengganti ideal bagi ketidakhadiran mereka di rumah untuk anak mereka. Bagi kebanyakan kita, mungkin TV adalah sang juru selamat. Bagi mereka yang mengelolanya, mungkin TV adalah tuhannya dan mereka adalah para nabi-nabinya.
Beberapa waktu lalu kita sering mendengar betapa perfilman Indonesia dikuasai oleh film jenis horror yang begitu menyebalkan, dan saking menyebalkannya maka jadi menyeramkan kehadirannya. Bagi saya, tayangan TV kita adalah horror sesungguhnya dan kita menyaksikannya hampir 24 jam selama 7 hari penuh.
Benarkah kita dapat mengintervensinya semudah menjentikkan jari pada tombol remote TV? Mungkin kasus pemadaman listrik yang menimpa kita belakangan ini menjadi lebih bermakna bila kita lihat dari sudut pandang lain. Membuat kita sedikit menghargai diri kita sendiri.